Senin, 18 Agustus 2008

PENGHILANGAN ZAT WARNA NAFTOL DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL DENGAN AMPAS TEBU

Pendahuluan

Indonesia adalah negara sedang berkembang, yang sedang melaksanakan pembangunan industri. Meningkatnya jumlah industri tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga memberikan dampak negatif, misalnya pencemaran lingkungan hidup dari buangan industri, yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Untuk mencegah menurunnya kualitas lingkungan diperlukan usaha pencegahan melalui pengolahan limbah tersebut.

Perkembangan industri tekstil di Indonesia telah maju dengan pesat, dampak negatif dari pembangunan industri tekstil tersebut terutama dari proses pencelupan adalah pencemaran lingkungan apabila air limbahnya dibuang ke selokan atau sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Air selokan menjadi berwarna dan mengubah kualitas air selokan atau air sungai sehingga tidak sesuai peruntukannya.

Industri kecil dan menengah merupakan salahsatu sektor industri strategis dalam menggerakkan perekonomian nasional. Sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja dan menyediakan lapangan usaha baru, sehingga dapat menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Persaingan di dunia industri menuntut pelakunya untuk terus meningkatkan kemampuan mereka agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Salah satu produk andalan yang menjadi ciri khas suatu daerah adalah batik. Kota-kota yang menjadikan batik sebagai komoditas andalan antara lain Pekalongan, Surakarta, dan Yogyakarta. Ribuan jiwa tergantung pada jalannya produksi batik. Industri-industri batik di masing-masing kota tersebut telah tumbuh dan berkembang sejak puluhan tahun silam. Keberadaan mereka terbentuk secara turun-temurun, baik di kalangan pemilik maupun pekerja.

Seiring dengan perkembangan industri secara global, industri batik dituntut untuk terus berbenah dan meningkatkan standard kerjanya. Namun demikian, tidak sedikit industri batik khususnya industri kecil dan menengah mampu melakukan dan menerapkannya. Masalah lingkungan yang berhubungan dengan kegiatan industri tekstil sebagian besar diakibatkan penggunaan zat warna yang bersifat organik. Sebagian senyawa-senyawa organic tersebut sulit untuk diuraikan, serta bersifat karsinogen. Perubahan warna oleh air limbah masih menjadi masalah yang besar bagi lingkungan karena zat warna tersebut sulit untuk diuraikan secara alami oleh badan air penerima. Zat warna dalam air buangan tekstil mengundang reaksi keras masyarakat karena akan mengganggu estetika dan bukan hanya karena bahaya racun terhadap badan air penerima.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa banyak industri kecil kerajinan batik belum menerapkan standar pengolahan limbah baik di dalam lingkungan industri maupun lingkungan sekitarnya. Hal ini terlihat dari keadaan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Secara visual, kondisi lingkungan khususnya air sungai di sekitar sentra-sentra industri batik di Pekalongan misalnya, berwarna hitam pekat disertai bau yang menyengat. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena selain merusak ekosistem sungai juga dapat mempengaruhi kondisi kesehatan warga yang bermukim di sepanjang aliran sungai.

Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas disebabkan oleh karakteristik fisik maupun karakteristik kimianya yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Limbah cair terutama dihasilkan dari proses penyempurnaan tekstil. Limbah cair akan mengandung bahan-bahan yang dilepas dari serat, sisa bahan kimia yang ditambahkan pada proses penyempurnaan tersebut, serta serat yang terlepas dengan cara kimia atau mekanik selama proses produksi berlangsung.

Pewarna merupakan komponen dalam air limbah yang paling mudah dikenali keberadaannya karena kenampakannya. Sebagian besar industri seperti tekstil, kertas, karet, dan sablon menggunakan zat warna dalam prosesnya. Kelarutan zat warna sintetis yang sangat baik menjadikannya komponen yang banyak dijumpai di limbah cair industri. Pembuangan limbah pewarna ke aliran sungai mengakibatkan banyak masalah karena meracuni kehidupan dalam air dan merusak ekosistem lingkungan. Namun air limbah yang mengandung pewarna tersebut sangat sulit diolah karena ukuran struktur dan molekulnya menjadikannya tahan terhadap aerobic digestion, stabil terhadap sinar, panas, dan oksidator.

Metode pengolahan air limbah secara konvensional, yang mengacu pada biodegradasi aerobic, mempunyai efisiensi yang rendah terhadap zat warna reaktif dan zat warna anionic lainnya. Biodegradasi yang rendah tersebut menjadikan pengolahan limbah secara konvensioanal kurang efektif menghilangkan zat warna. Biasanya proses biologi tersebut dilanjutkan dengan proses fisika maupun kimia, sehingga membutuhkan biaya yang tinggi dan kurang efektif untuk mengolah limbah zat warna dalam jumlah yang besar. Di antara berbagai metode penghilangan zat warna, adsorpsi merupakan pilihan yang terbaik karena dapat menghilangkan berbagai jenis zat warna.

Sistem adsorpsi yang didesain dengan tepat akan menghasilkan keluaran berkualitas baik. Sebagian besar proses pengolahan limbah komersial memanfaatkan adsorpsi karbon aktif untuk menghilangkan zat warna dari air limbah karena kemampuan adsorpsinya yang sangat baik. Metode adsorpsi juga menjadi primadona beberapa tahun belakangan karena telah terbukti efisiensinya untuk menghilangkan zat warna dari air limbah. Selain produk luarannya yang berkualitas tinggi, proses ini juga sangat ekonomis.

Tinjauan Pustaka

Penghilangan zat warna asam dari air limbah dengan karbon aktif telah dilakukan oleh Walker dan Weatherley. Karbon aktif, dalam bentuk butiran maupun serbuk, merupakan adsorben yang paling banyak digunakan karena efisiensi adsorpsi terhadap molekul organic sangat tinggi, namun penggunaannya dibatasi oleh harganya yang mahal. Usaha-usaha untuk menemukan adsorben lain telah dilakukan dalam rangka menurunkan biaya pengolahan. Sejumlah bahan yang murah dengan ketersediaan yang berlimpah, seperti biomassa sampah, telah dikaji untuk menghilangkan berbagai jenis pewarna pada kondisi operasi yang berbeda. Namun, karena kapasitas adsorpsi yang tidak begitu besar, dibutuhkan adsorben baru yang lebih ekonomis, mudah diperoleh, dengan efektifitas yang tinggi.

Indonesia menghasilkan sejumlah besar ampas tebu setiap tahun karena banyaknya pabrik gula di Indonesia. Pemanfaatan sisa sampah pertanian untuk mengolah air limbah setidak-tidaknya dapat menekan biaya karena bahan baku dapat diperoleh dengan harga murah, bahkan secara cuma-cuma. Selain itu keberadaan bahan baku tersebut berlimpah. Pemanfaatan sampah, dalam hal ini ampas tebu, sebagai bahan baku karbon aktif juga memberikan solusi masalah pembuangan sampah, terlebih Indonesia merupakan negara agraris.

Saiful Azhar, dkk (2005) telah mengkaji penggunaan ampas tebu untuk menghilangkan zat warna methyl red dari air limbah. Sebelumnya, ampas tebu telah diberi pre-treatment dengan formaldehid dan asam sulfat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi adsorbsi ampas tebu yang diberi pre-treatment dengan asam sulfat lebih tinggi dibanding yang diberi pre-treatment dengan formaldehid. Liew Abdullah, dkk (2005) telah mengkaji penghilangan zat warna azo dari air limbah dengan ampas tebu. Pada penelitian tersebut juga dilakukan pre-treatment dengan formaldehid dan asam sulfat. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah adsorben akan meningkatkan persentase zat warna yang dihilangkan. Ampas tebu yang diberi pre-treatment dengan asam sulfat memberikan efisiensi yang lebih baik. Rachakornkij, dkk (2004) telah mengkaji penggunaan ampas tebu untuk menghilangkan zat warna reaktif dari air limbah. Sebelumnya, ampas tebu telah diberi digiling, dikeringkan, dan diayak.

Berdasar pertimbangan di atas, perlu dikaji penggunaan ampas tebu untuk menghilangkan sisa zat warna naftol di limbah cair industri tekstil. Diharapkan proses ini akan meminimalisir pencemaran lingkungan, baik dari sisi limbah ampas tebu maupun limbah industri tekstil itu sendiri.

1. Zat Warna

Zat warna meliputi semua bahan pewarna yang dapat larut dalam air dan mempunyai daya tarik terhadap serat pada bahan tekstil. Suatu zat dapat berlaku sebagai zat warna apabila :

a. Zat tersebut mempunyai gugus yang dapat menimbulkan warna (kromofor), misalnya azo (-N=N-), nitro (-NO2), nitroso (-NO).

b. Zat tersebut mempunyai gugus yang dapat mempunyai afinitas terhadap serat (auksokrom), misalnya amino (-NH2), hidroksil (-OH-).

Zat warna sintetis yang pertama kali ditemukan adalah mauveine, oleh William Henry Perkin pada tahun 1856. Saat ini terdapat ribuan jenis zat warna sintetis. Keberadaan zat warna sintetis menggeser penggunaan zat warna alam. Zat warna sintetis lebih murah dengan warna yang sangat variatif dan kualitas hasil pencelupan yang sangat baik.

Zat warna azo merupakan zat warna sintetis yang tidak larut dalam air. Proses pencelupan dapat dilakukan dengan bantuan garam diazonium. Mula-mula zat warna diubah menjadi bentuk yang larut dalam air. Setelah pencelupan, serat dimasukkan ke dalam larutan garam diazonium. Teknik ini sangat unik karena warna akhir ditentukan oleh penggunaan garam diazonium.

2. Adsorpsi Karbon Aktif

Adsorpsi karbon aktif merupakan suatu proses untuk menghilangkan kontaminan air limbah yang berupa cairan maupun gas melalui kontak dengan permukaan padatan (adsorben). Bahan adsorben yang digunakan pada aplikasi proses tersebut adalah karbon aktif yang telah diberikan treatment tertentu sehingga luas permukaan meningkat. Proses ini biasa digunakan pada komponen organik, walaupun bisa juga untuk komponen anorganik. Sebagian besar proses menggunakan karbon aktif granular dalam reaktor kolom. Penggunaan bahan mentah (seperti batubara, kayu, tempurung kelapa) dan teknologi proses yang berbeda akan menghasilkan jenis karbon aktif yang berbeda pula, baik dalam bentuk powder maupun granular. Jenis-jenis tersebut mempunyai karakteristik adsorpsi yang bermacam-macam, sehingga pemilihannya disesuaikan dengan kondisi limbah yang akan diolah. Karbon aktif terdiri dari dua macam, yaitu powder dengan diameter kurang dari 200 mesh dan granular dengan diameter lebih dari 0.1 mm. Pengolahan air limbah pada umumnya menggunakan karbon aktif berbentuk granular. Bentuk powder jarang digunakan karena ukuran partikel yang kecil sering menimbulkan masalah pada proses perancangan dan regenerasi. Karbon aktif yang berbentuk granular umumnya digunakan untuk menghilangkan komponen organik beracun dari air tanah, limbah cair industri, dan limbah pada fase uap. Karbon aktif berbentuk powder biasanya digunakan pada proses pengolahan limbah secara biologi.

Adsorpsi karbon aktif sangat ditentukan oleh kondisi proses seperti suhu dan pH serta faktor rancangan proses seperti waktu kontak dan jumlah kolom karbon. Jika proses ini dilakukan dalam kondisi yang tepat, karbon aktif merupakan teknologi pengolahan limbah industri yang efektif. Kapasitas adsorpsi karbon ditentukan oleh karakteristik komponen yang teradsorb, komposisi kontaminan, dan karakteristik karbon itu sendiri. Kompetisi dapat terjadi jika terdapat beberapa komponen dalam air limbah yang sesuai dengan karbon aktif yang digunakan. Kompetisi antar komponen dapat berakibat pada rendahnya daya adsorpsi, bahkan tidak terserapnya komponen tertentu.

Pelarut yang telah dikondisikan dipindahkan pada bed karbon aktif yang telah diinstal pada bejana yang dikenal dengan adsorber. Karbon menyerap pelarut tersebut, yang tersisa adalah aliran limbah yang bersih. Selanjutnya bed karbon dapat diregenerasi.

Karbon aktif efektif untuk menghilangkan bahan organik dalam air limbah melalui proses adsorpsi. Istilah karbon aktif mengacu pada bahan karbon, seperti batubara atau kayu, yang telah mengalami proses dehidrasi, karbonisasi, dan oksidasi untuk memperoleh suatu adsorben dengan luas area dan jumlah pori-pori yang besar. Air limbah mengalir melalui material karbon, sehingga molekul yang terlarut dalam air limbah tersebut akan terperangkap di dalam pori-pori karbon.

Pada umumnya, konstituen organik termasuk bahan aktif pada pestisida dengan struktur kimia tertentu (seperti gugus fungsional aromatik), berat molekul yang besar, dan solubilitas yang rendah dapat terserap ke dalam karbon aktif. Bahan tersebut tertinggal di dalam bahan karbon sehingga konsentrasi pestisida dalam air limbah yang tersisa lebih rendah dibanding konsentrasi awal. Ketika semua pori-pori dalam karbon terisi penuh karbon tersebut telah jenuh dan tidak mampu lagi menyerap kontaminan. Karbon yang telah terpakai dapat diregenerasi untuk digunakan kembali atau dibuang, tergantung pada regulasi dan biaya yang dimiliki.

Regenerasi karbon untuk melepaskan komponen yang terserap dapat dilakukan dengan uap, panas, maupun metode fisika/kimia. Proses regenerasi karbon pada pengolahan air limbah yang paling sering digunakan adalah menggunakan uap dan panas.

Sisa karbon aktif dikelompokkan menjadi dua, yaitu sisa karbon yang beracun dan yang tidak beracun. Faktor pendorong untuk merecycle karbon aktif meliputi faktor finansial dan minimalisasi resiko pembuangan sisa karbon aktif. Regenerasi karbon yang umumnya dilakukan secara thermal akan menghancurkan kontaminan yang berupa komponen organik.

Pemanasan akan mendorong pelarut keluar dari karbon aktif. Uap yang dihasilkan didinginkan sebelum dipisahkan maupun dibuang. Karbon yang telah dipanasi harus dikeringkan dan didinginkan sebelum digunakan kembali untuk proses adsorpsi. Proses ini biasa digunakan pada pemulihan hidrokarbon dan campuran pelarut.

Nitrogen panas digunakan untuk menghilangkan pelarut dari karbon, air yang ikut terserap dihilangkan sebelum pelarut tersebut dikondensasi. Metode tersebut tersedia untuk recovery pelarut yang larut dalam air dengan meminimimalisasi proses pemisahan tambahan.

3. Ampas Tebu

Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas areal ± 232 ribu hektar, yang tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makassar. Pada tahun 2002 produksi tebu Indonesia mencapai ± 2 juta ton. Tebu-tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula (Johanes Anton Witono, 2004). Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu giling. Pada musim giling 2006 lalu, data yang diperoleh dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) menunjukkan bahwa jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik gula di Indonesia mencapai sekitar 30 juta ton, sehingga ampas tebu yang dihasilkan diperkirakan mencapai 9.640.000 ton. Namun, sebanyak 60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan bakar, bahan baku untuk kertas, bahan baku industri kanvas rem, industri jamur dan lain-lain. Oleh karena itu diperkirakan sebanyak 40 % dari ampas tebu tersebut belum dimanfaatkan (Syaiful Anwar, 2008). Di samping terbatas, nilai ekonomi yang diperoleh juga belum tinggi sehingga diperlukan adanya pengembangan proses teknologi agar terjadi diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian.

Dari data statistik, ampas tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula yang ada di pulau Jawa berkisar antara 9,5 juta ton/tahun. Ampas kelebihan (yang belum termanfaatkan oleh Pabrik Gula) 800.000 ton, sebagian terserap oleh industri kertas, industri jamur 500.000 ton, dengan demikian masih terdapat kelebihan ampas tebu 300.000 ton yang terbuang, sehingga nilai ampas tebu sangat rendah (Suwarsono, 2002).

Indonesia menghasilkan sejumlah besar ampas tebu setiap tahun karena banyaknya pabrik gula di Indonesia. Pemanfaatan sisa sampah pertanian untuk mengolah air limbah setidak-tidaknya dapat menekan biaya karena bahan baku dapat diperoleh dengan harga murah, bahkan secara cuma-cuma. Selain itu keberadaan bahan baku tersebut berlimpah. Pemanfaatan sampah, dalam hal ini ampas tebu, sebagai bahan baku karbon aktif juga memberikan solusi masalah pembuangan sampah.

Metode Penelitian

Ampas tebu yang diperoleh dari pabrik gula dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kering kemudian digiling hingga halus. Bubuk ampas tebu diayak sehingga ukurannya -80 hingga +230 mesh. Agar dapat menyerap zat warna, bubuk tersebut dikerjakan dengan larutan formaldehid 1%, dengan perbandingan berat terhadap volume 1:5 pada suhu 500C selama 4 jam. Selanjutnya dibilas dengan air suling untuk menghilangkan formaldehid bebas dan diaktifkan pada suhu 800C di dalam oven selama 24 jam.

Sebagian dari ampas tebu dikerjakan dengan larutan asam sulfat kemudian dipanaskan pada suhu 1500C selama 24 jam. Ampas tebu yang telah dipanaskan dibilas dengan air suling dan direndam dalam larutan natrium bikarbonat 1% selama semalam untuk menghilangkan sisa-sisa asam. Selanjutnya bahan tersebut dikeringkan di dalam oven pada suhu 1500C selama 24 jam, dihaluskan dan diayak sehingga diperoleh ukuran -80 hingga +230 mesh.

Penelitian ini diawali dengan membuat larutan zat warna sebagai simulasi dari limbah tekstil. Zat warna yang digunakan adalah zat warna naftol. Konsentrasi awal larutan divariasikan dari 50 mg/L hingga 250 mg/L dengan interval 50. Obat bantu yang digunakan adalah NaOH 380 Be dan TRO.

Proses adsorpsi dilakukan dilakukan dengan memasukkan 100 mL larutan zat warna pada masing-masing variasi dan 400 mg adsorben ke dalam Erlenmeyer dan diaduk dengan kecepatan 160 rpm. Selanjutnya konsentrasi akhir larutan zat warna diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 617 nm.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian diberikan dalam tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Hasil Penelitian

Konsentrasi Awal Larutan Zat Warna (mg/L)

Persentase Penghilangan ZW (menit)

15

30

45

60

90

120

Ampas Tebu yang di-treatment dengan Asam Sulfat

50

85.6

87.9

88.2

88.7

89.3

91.4

100

85.0

85.7

86.3

87.5

88.6

89.2

150

80.9

82.8

84.6

85.5

86.0

86.4

200

74.1

76.9

79.8

83.3

84.1

84.0

250

66.8

69.8

74.5

77.9

80.8

82.9

Ampas Tebu yang di-treatment dengan Formaldehid

50

73.2

74.9

76.3

78.2

80.3

81.6

100

63.5

64.6

66.4

67.0

68.2

69.6

150

54.5

55.9

57.5

58.8

59.7

60.3

200

42.4

46.1

47.6

50.2

51.7

57.8

250

23.1

27.0

28.7

30.8

35.0

38.0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase adsorpsi zat warna naftol oleh ampas tebu, baik yang di-treatment dengan asam sulfat maupun formaldehid berbanding terbalik dengan konsentrasi awal larutan zat warna naftol sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1. Jadi, semakin tinggi konsentrasi awal larutan zat warna naftol, semakin rendah persentase adsorpsi zat warna. Artinya, konsentrasi zat warna naftol yang tersisa dalam larutan air limbah semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi awal, semakin besar pula beban pemisahan.

Gambar 1. Profil penghilangan zat warna naftol pada waktu kontak 120 menit berdasar konsentrasi awal.

Gambar 2. Profil penghilangan zat warna naftol pada konsentrasi awal 50 mg/L berdasar waktu kontak.

Pada variasi waktu kontak seperti terlihat pada gambar 2 di atas, semakin lama waktu kontak semakin banyak zat warna naftol yang terserap ke dalam ampas tebu. Jadi, persentase adsorpsi zat warna semakin tinggi. Hal ini karena kesempatan terabsorpsinya zat warna naftol dalam larutan dibatasi oleh besarnya kecepatan reaksi. Kondisi ini dimungkinkan berlangsung dalam waktu tertentu hingga mencapai kondisi setimbang.

Dari dua treatment yang dilakukan, ampas tebu dengan asam sulfat memberikan persentase penghilangan zat warna naftol tertinggi yaitu rata-rata 83.15% sedangkan formaldehid hanya memberikan 56.30%. Persentase tertinggi untuk ampas tebu yang di-treatment dengan asam sulfat dan formaldehid masing-masing 91.4% dan 81.6%.

Kesimpulan

Ampas tebu merupakan biomassa limbah yang ketersediaannya berlimpah dengan harga yang sangat murah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase adsorpsi yang tinggi diperoleh dari konsentrasi awal yang rendah dan waktu kontak yang lama. Persentase adsorpsi yang lebih tinggi diperoleh pada ampas tebu yang di-treatment dengan asam sulfat, dibanding dengan formaldehid. Kajian ini menunjukkan bahwa adsorpsi dengan ampas tebu merupakan metode yang menjanjikan untuk menghilangkan zat warna dari limbah cair industri tekstil.

POTENSI SERAT NANAS SABRANG SEBAGAI BAHAN SANDANG

Pendahuluan

Nanas sabrang (Agave cantula, roxb) merupakan salah satu jenis tanaman agave yang berasal dari Meksiko. Kini, tanaman tersebut telah dibudidayakan di seluruh dunia. Beberapa tanaman lain dari genus Agave seperti sisal (Agave sisalana) dan henequen (Agave fourcroydes) telah dikembangkan sebagai penghasil serat. Namun serat dari nanas sabrang ternyata belum termanfaatkan karena minimnya informasi dan penelitian yang mengungkap potensi dan mekanisme pengolahan menjadi bahan sandang.

Nanas sabrang banyak tumbuh liar di Indonesia. Pemanfaatannya pun cukup banyak seperti bahan baku kerajinan tas, dompet, kuas, tali, hingga sapu. Kerajinan dari serat ini sudah menjadi salah satu aset unggulan dari propinsi DIY dan kabupaten Kulon Progo (Dody Ariawan, 2008). Jika ditinjau dari karakteristik daun secara fisik, dimungkinkan dapat dimanfaatkan untuk keperluan bahan tekstil. Hal ini diperkuat dengan hasil percobaan awal bahwa daun nanas sabrang setelah mengalami proses pemisahan serat dengan penyisiran dapat menghasilkan serat yang kuat, tidak mudah putus, dan berkilau dengan warna kekuningan. Hasil tersebut merupakan angin segar bagi pemenuhan bahan baku serat industri tekstil di Indonesia yang selama ini masih import dari negara lain. Jika nantinya serat nanas sabrang dapat diolah, diproduksi, dan dikelola dengan baik, maka pasokan bahan baku import akan dapat ditekan seminimal mungkin. Harapan ke depan adalah tersedianya produk tekstil yang bermutu dengan harga yang terjangkau. Selanjutnya, perlu dikaji pemanfaatan serat nanas sabrang sebagai bahan baku tekstil sandang.

Sebagai bahan baku tekstil, serat memegang peranan yang sangat penting, karena sifat serat menentukan sifat bahan tekstil. Oleh karena itu, proses pengolahan bahan tekstil harus didasarkan pada sifat-sifat seratnya. Salah satu ciri serat adalah ukuran panjang relatif lebih besar daripada lebarnya. Menurut Soeprijono, dkk. (1974) karakteristik serat hanya ditentukan oleh bentuknya, yaitu rasio panjang dan diameter dan tidak ditentukan oleh zat pembentuknya.

Agave Cantula Roxb

Agave cantula roxb merupakan tumbuhan yang hidup tersebar luas di daerah-daerah yang beriklim kering. Tanaman ini tumbuh liar atau ditanam sebagai tanaman pagar. Kadang-kadang tanaman ini juga ditanam sebagai penghias taman. Di India, selain untuk pagar, nanas sabrang juga ditanam sebagai penutup tanah untuk mencegah erosi.

Dalam banyak hal, tumbuhan ini mirip sekali dengan kerabat semarganya, yaitu sisal. Seperti halnya sisal, daunnya berbentuk pedang tapi agak lebih lembut dibandingkan daun sisal. Duri-duri daunnya lebih keras dan lebih besar-besar. Daunnya berwarna hijau tua kebiru-biruan. Susunan perbungaan berbentuk malai, berdiri tegak, kurang lebih 6 m tingginya. Buah dan biji jarang terbentuk. Biasanya sesudah bunga mekar akan bermunculan ratusan kabumbu pada cabang-cabang malai. Kabumbu tersebut merupakan organ pembuahan. Klasifikasi ilmiah Agave cantula roxb ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi ilmiah Agave cantula roxb

Kingdom
Division
Class
Order
Family
Genus
Spec
ies

Plantae

Magnoliophyta

Liliopsida

Asparagales

Agavaceae

Agave

A. cantula roxb

(http://en.wikipedia.org )

Seratnya lebih halus, lebih kuat, dan lebih putih dibandingkan dengan serat sisal. Mutunya sedikit lebih rendah daripada serat manila henep. Di antara jenis-jenis Agave, serat nanas sabrang adalah yang terbaik.

Berbeda halnya dengan sisal, tumbuhan ini masih bisa tumbuh baik di tempat-tempat yang curah hujannya agak tinggi. Sayangnya, durinya yang tajam menyulitkan pekerja. Kepekaannya terhadap beberapa macam penyakit menyebabkan orang tidak begitu menyukainya.

Cara perbanyakan dan pembudidayaannya sama saja seperti halnya pada sisal. Demikian pula pemanfaatan seratnya. Serat-serat yang pendek (ampas) biasanya diolah lebih lanjut untuk dijadikan kertas pembungkus.

Kemungkinan besar jenis ini berasal dari Meksiko. Sekarang banyak ditanam atau tumbuh meliar di seluruh daerah tropik baik di Asia, Afrika, maupun Amerika.

Jika batang yang belum berbunga dipotong, cairan manis yang disebut agua miel akan keluar dan terkumpul di jantung tanaman. Fermentasi cairan ini akan menghasilkan pulque, untuk didistilasi membentuk mezcal. Daunnya mengandung serat, yang disebut pita, biasa digunakan untuk membuat tali, tikar, baju, dan bordir dengan teknik piteado. Pulque dan serat maguey merupakan komoditas ekonomi penting masyarakat Meksiko. Namun kini produksinya sangat terbatas. Komoditas baru berbahan dasar agave adalah sirup agave yang bisa digunakan sebagai alternatif pengganti gula alami.

Gambar 1. Agave cantula, roxb

(Dian Arifiyah, 2008)

Tanaman ini juga bisa dimanfaatkan sebagai pagar hijau dan tanaman hias. Keberadaan tanaman yang besar ini mendominasi tempat tumbuh. Tanaman ini juga dapat tumbuh di tempat tertutup namun tidak dapat mencapai ukuran sebesar di tempat terbuka.

Kualitas Serat

Kualitas serat ditentukan oleh sifat-sifatnya. Beberapa sifat atau karakteristik serat dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Rasio Panjang dan Diameter Serat

Secara umum, serat memiliki rasio panjang dan diameter lebih dari 200. Hal tersebut berkaitan dengan fleksibilitas serat agar dapat dipintal menjadi benang. Namun, untuk dapat digunakan sebagai bahan pakaian, minimal memiliki rasio panjang dan diameter sebesar 1000. Panjang serat merupakan salah satu faktor penting, karena kehalusan dan kekuatan berhubungan erat dengan panjang serat. Pada umumnya makin panjang serat, semakin halus dan kuat. Serat yang umum digunakan di industri tekstil mempunyai diameter antara 10 mm hingga 30 mm.

2. Penampang Lintang

Serat alam memiliki penampang lintang yang bervariasi, seperti penampang lintang serat kapas berbentuk seperti ginjal hingga pipih. Sedangkan serat sintetis dengan jenis yang sama memiliki bentuk penampang lintang yang hampir sama.

Serat dengan penampang lintang pipih mempunyai daya kilap tinggi, namun pegangannya kasar. Penampang lintang bulat memberikan pegangan yang halus. Makin luas permukaan serap, makin tinggi daya serapnya.

3. Tenacity

Tenacity merupakan sifat serat yang sangat penting agar tahan terhadap tarikan dan gesekan selama proses pemintalan dan pertenunan. Tenacity serat dinyatakan dalam gram per denier (g/D). Denier adalah berat dalam gram dari serat sepanjang 9000 m. Kekuatan serat dalam keadaan kering harus lebih besar dari 1,2 g/D, sedangkan dalam keadaan basah harus lebih besar dari 0,7 g/D. Tenacity serat dinyatakan sebagai berikut (Wibowo Moerdoko, dkk., 1973):

1)

4. Daya Serap

Serat dapat menyerap uap air hingga batas tertentu. Jumlah uap air yang terserap bervariasi sesuai dengan kondisi kelembaban relatif dan suhu udara.

Serat yang dapat menyerap uap air lebih banyak akan lebih enak dipakai. Selain itu, dapat mencegah timbulnya listrik statik dalam pengerjaan. Kadar uap air dalam serat dinyatakan dalam moisture regain (%) atau moisture content (%) yang didefinisikan sebagai berikut (P. Soeprijono, dkk., 1974):

2)

3)

dengan B adalah berat asal dan K adalah berat kering mutlak.

Serat yang sedikit menyerap uap air mempunyai sifat-sifat yang relatif sama baik dalam keadaan basah maupun kering. Serat ini memiliki stabilitas dimensi yang lebih baik.

5. Mulur dan Elastisitas

Elastisitas adalah kemampuan serat untuk kembali ke panjang semula setelah mengalami tarikan. Serat tekstil harus memiliki elastisitas yang baik dan mulur saat putus maksimal 10%. Kain yang dibuat dari serat ini memiliki stabilitas dimensi yang baik dan tahan kusut. Mulur suatu serat dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

4)

Sedang elastisitas ditentukan dengan rumus :

5)

dengan Lf adalah panjang akhir serat setelah ditarik (m), Li adalah panjang awal serat (m), dan Lm adalah panjang maksimum serat saat putus (m).

6. Kehalusan

Pada umumnya serat yang halus menghasilkan benang yang kuat, pegangan yang enak, dan daya isolasi panas yang baik. Hal ini karena serat halus memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga banyak menahan udara dalam kain dan memperbesar gesekan antar serat. Kelemahan serat halus adalah kurang tahan terhadap gesekan dan pilling.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian diawali dengan menyisir daun nanas sabrang menggunakan dekortikator sehingga menghasilkan serat. Selanjutnya dicuci dan dikeringkan.

Serat yang telah kering diukur dimensinya (panjang dan diameter) dengan menggunakan micrometer, kemudian diuji kekuatan serat dengan menggunakan pendulum tester. Pengujian kekuatan serat memakai pendulum tester kecil dengan kapasitas maksimum 500 gram. Proses pengujian kekuatan dilakukan sekaligus dengan pengujian mulur menggunakan cara berkas pita.

Hasil penelitian diuraikan sebagai berikut:

1. Rasio panjang dan diameter serat

Hasil pengujian panjang serat nanas sabrang menunjukkan nilai 500 mm dan diameter 0.096 mm. Sehingga rasio panjang dan diameter serat nanas sabrang sebesar 5218. Artinya, serat ini memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai bahan sandang, karena rasio panjang dan diameter serat > 1000 (Wibowo Moerdoko, 1973)

2. Tenacity serat

Hasil pengujian tenacity serat nanas sabrang menunjukkan nilai 2.867 g/D. Nilai tersebut lebih besar daripada syarat minimal tenacity serat untuk dapat dipintal yaitu sebesar 1.2 g/D.

3. Daya serap

Serat nanas sabrang memiliki MR sebesar 13.13% (Dody Ariawan, 2008), lebih tinggi dibanding serat kapas (MR 8.5%) dan sutera (MR 11%). Artinya, serat nanas sabrang nyaman dipakai karena mudah menyerap keringat.

4. Mulur

Pengujian menunjukkan serat nanas sabrang mempunyai mulur saat putus sebesar 1.387 % dari 10 sampel yang diuji. Nilai tersebut lebih rendah dari ketentuan mulur saat putus maksimum serat untuk dapat dipintal sebesar 10 %. Artinya serat nanas sabrang memenuhi ketentuan tersebut karena mempunyai mulur yang lebih baik.

5. Kehalusan

Pengujian menunjukkan serat nanas sabrang mempunyai kehalusan sebesar 37 microns. Nilai kehalusan di atas menunjukkan bahwa serat nanas sabrang tergolong ke dalam serat yang kasar (Wibowo Moerdoko, 1973). Artinya, serat nanas sabrang kurang nyaman untuk digunakan sebagai bahan sandang. Perlu penelitian lebih lanjut agar diperoleh serat yang lebih halus sehingga layak digunakan sebagai bahan sandang.

Hasil di atas menunjukkan bahwa dari lima parameter yang diuji hanya terdapat satu parameter yang belum memenuhi ketentuan serat untuk bahan sandang yaitu kehalusan. Sedangkan parameter kualitas serat lainnya yaitu rasio panjang-diameter, tenacity, daya serap, dan mulur memberikan hasil yang memuaskan.

Penutup

Serat nanas sabrang dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis keperluan. Selain untuk bahan baku kerajinan tas, tali, dan sapu, serat nanas sabrang juga berpotensi digunakan di industri tekstil karena memiliki beberapa karakteristik yang sesuai dengan ketentuan serat untuk bahan baku sandang. Serat yang dihasilkan memiliki rasio panjang-diameter > 1000 dan tenacity > 1.2 g/D. Selain itu, daya serap serat nanas sabrang > serat sutra, sedangkan mulur saat putus <>pre-treatment untuk meningkatkan kualitas kehalusan sehingga layak dijadikan bahan baku sandang.

KUALITAS TENACITY DAN MULUR SERAT AGAVE AMERICANA SEBAGAI BAHAN BAKU TEKSTIL ALTERNATIF

Pendahuluan

Industri tekstil di Indonesia menjadi terpuruk akibat krisis moneter yang berkepanjangan. Hal ini didorong oleh mahalnya harga bahan baku, yang sebagian besar merupakan barang impor. Di sisi lain, biaya produksi yang tinggi tidak diimbangi dengan tingginya daya beli masyarakat. Dengan demikian, masyarakat lebih memilih produk impor yang notabene lebih murah dengan mutu yang lebih baik.

Menyadari hal tersebut, perlu dilakukan terobosan baru untuk meningkatkan mutu produk tekstil Indonesia dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui pemanfaatan sumber daya alam yang banyak terdapat di Indonesia sebagai bahan baku tekstil. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut perlu mempertimbangkan beberapa aspek dalam proses pembuatan bahan baku tekstil. Proses tersebut terdiri dari beberapa tahapan, salahsatunya adalah pembuatan serat sebagai bahan baku kain.

Serat dapat berupa serat alam dan serat buatan. Kedua jenis serat tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dengan keunggulan dan kelemahan tersendiri. Namun mensikapi isu back to nature dan trend teknologi yang ramah lingkungan, maka penggunaan serat sintetis akan semakin tergusur karena banyak menimbulkan masalah terhadap lingkungan dibanding serat alam.

Munculnya peraturan pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dan berkembangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan hidup telah memicu pergeseran paradigma untuk mendesain material yang ramah lingkungan. Fakta tersebut akan mendorong penggunaan serat alam sebagai bahan baku tekstil baik di kalangan pencinta mode, home industry, maupun industri tekstil. Pemakaian serat alam sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui diharapkan dapat memberikan dua kontribusi positif yaitu tidak menimbulkan pencemaran lingkungan karena dapat diuraikan secara biologis, sekaligus memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah.

Sumber serat alam antara lain dari tumbuh-tumbuhan, hewan, dan mineral. Serat alam yang berasal dari tumbuhan seperti kapas, sabut kelapa, rosella, rami, goni, pisang, nanas, lidah buaya, dan lain-lain. Serat alam yang berasal dari hewan antara lain wol, sutera, cashmere, vicuna, alpaca, bahkan kelinci. Beberapa jenis mineral juga dapat dijadikan serat secara langsung maupun melalui modifikasi. Serat mineral yang dapat secara langsung diperoleh dalam bentuk stapel adalah serat asbestos.

Penggunaan berbagai jenis serat alam tersebut telah dikaji oleh banyak peneliti. Beberapa tanaman dari genus Agave, yaitu sisal (Agave sisalana) dan henequen (Agave fourcroydes) telah dikembangkan sebagai penghasil serat. Namun selama ini belum ada peneliti yang mengkaji lebih mendalam tentang penggunaan serat alam dari Agave americana.

Agave americana merupakan salah satu pohon yang banyak tumbuh liar di Indonesia. Pemanfaatan daun Agave americana belum optimal, masih sangat terbatas sebagai tanaman pagar hidup. Jika ditinjau dari karakteristik daun secara fisik, dimungkinkan daun Agave americana masih dapat dimanfaatkan untuk keperluan bahan tekstil. Hal ini diperkuat dengan hasil percobaan sementara, daun agave americana setelah mengalami proses perendaman dan dilakukan pemisahan serat dengan penyisiran dapat menghasilkan serat yang kuat, tidak mudah putus, berkilau dengan warna putih kekuningan. Namun demikian untuk mengetahui karakteristik daun Agave americana sebagai bahan baku kain perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk mengkaji daun Agave americana sebagai serat dengan judul ”KUALITAS TENACITY DAN MULUR SERAT AGAVE AMERICANA SEBAGAI BAHAN BAKU TEKSTIL ALTERNATIF”.

Penelitian ini difokuskan pada proses pembuatan serat dengan dekortikator, kemudian dilakukan pengujian kualitas yang terdiri dari tenacity dan mulur. Dari beberapa variabel tersebut, diharapkan dapat diperoleh deskripsi kualitas atau karakteristik serat khususnya serat alam yang diperoleh dari daun Agave americana.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan potensi pemanfaatan serat alam yang tersedia berlimpah (sustainability resources) di Indonesia sebagai hasil aktifitas pertanian, melalui teknologi pemrosesan produk serat yang ramah lingkungan dan bernilai ekonomis. Selain itu, juga dapat memenuhi kebutuhan industri yang berkembang di masyarakat, dengan ketersediaan di alam yang cukup besar dan biaya bahan yang jauh lebih murah. Pada akhirnya, dengan kemampuan teknologi proses berbasis serat alam yang meningkat dapat menunjang pembangunan industri dan kemandirian bangsa, khususnya dalam penguasaan teknologi material.

1. Agave americana

Agave americana merupakan salah satu jenis tanaman agave yang berasal dari Meksiko. Kini, tanaman tersebut telah dibudidayakan di seluruh dunia. Agave americana mempunyai daun selebar 4 meter dengan panjang 2 meter. Daun tanaman ini berduri di bagian pinggirnya dengan duri besar di bagian ujungnya. Bunganya berwarna kuning, dengan tinggi mencapai 8 meter, namun jarang berbunga. Setelah berbunga, umumnya tanaman ini mati. Umur tanaman ini sekitar 25 tahun.

Tabel 1. Klasifikasi ilmiah Agave americana

Kingdom:
Division:
Class:
Order:
Family:
Genus:
Species:

Plantae

Magnoliophyta

Liliopsida

Asparagales

Agavaceae

Agave

A. americana

(http://en.wikipedia.org )

Varietas agave americana yang dibudidayakan meliputi Marginata yang bergaris kuning sepanjang tepi daun, Medopicta dengan pita putih di tengah daunnya, Striata yang bergaris kuning-putih sepanjang daunnya, dan Variegata yang bergaris putih di tepi daunnya. Agave americana dikenal juga dengan lidah buaya Amerika, walaupun bukan termasuk golongan lidah buaya (aloe).

Gambar 1. Agave americana

http://en.wikipedia.org )

Jika batang yang belum berbunga dipotong, cairan manis yang disebut agua miel akan keluar dan terkumpul di jantung tanaman. Fermentasi cairan ini akan menghasilkan pulque, untuk didistilasi membentuk mezcal. Daunnya mengandung serat, yang disebut pita, biasa digunakan untuk membuat tali, tikar, baju, dan bordir dengan teknik piteado. Pulque dan serat maguey merupakan komoditas ekonomi penting masyarakat Meksiko. Namun kini produksinya sangat terbatas. Komoditas baru berbahan dasar agave adalah sirup agave yang bisa digunakan sebagai alternatif pengganti gula alami.

Agave americana juga sering disebut dengan century plant karena tanaman ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk berbunga. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kesuburan tanah dan iklim daerah serta karakteristik tanaman itu sendiri. Nutrisi yang dibutuhkan untuk menghasilkan bunga disimpan dalam daunnya yang berdaging. Agave americana pertama kali dikenal di Eropa pada pertengahan abad ke-16. Saat ini, tanaman tersebut telah dikenal dan dibudidayakan secara meluas. Jenis-jenis tanaman ini mempunyai garis putih atau kuning di tepi maupun tengah daun, dari pangkal hingga ujung daun. Tanaman ini biasa ditanam di pot, menyukai matahari, namun tidak tahan terhadap butiran salju. Pertumbuhannya lambat, mati setelah berbunga, namun mudah diperbanyak dengan cara stek, yaitu memotong bagian pangkal batang daun.

Agave americana biasa digunakan pada permainan anggar di Meksiko dan amerika Tengah. Tanaman ini juga bisa dimanfaatkan sebagai pagar hijau dan tanaman hias. Keberadaan tanaman yang besar ini mendominasi tempat tumbuh. Tanaman ini juga dapat tumbuh di tempat tertutup namun tidak dapat mencapai ukuran sebesar di tempat terbuka.

Getah tanaman Agave americana bermanfaat sebagai diuretika dan obat cuci perut. Jus daun Agave americana bisa dioleskan untuk mengobati luka memar. Minuman jus tersebut juga dapat berguna untuk mengobati hepatitis, konstipasi, asam lambung, disentri, dan keluhan lain akibat gangguan system pencernaan. Daun tanaman ini diketahui mengandung hormone steroid.

2. Kualitas Serat

Sebagai bahan baku tekstil, serat memegang peranan yang sangat penting, karena sifat serat menentukan sifat bahan tekstil. Oleh karena itu, proses pengolahan bahan tekstil harus didasarkan pada sifat-sifat seratnya.

Salah satu ciri serat adalah ukuran panjang relatif lebih besar daripada lebarnya. Karakteristik serat hanya ditentukan oleh bentuknya, yaitu rasio panjang dan diameter dan tidak ditentukan oleh zat pembentuknya (P. Soeprijono, dkk., 1974). Beberapa sifat atau karakteristik serat dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Rasio Panjang dan Diameter Serat

Secara umum, serat memiliki rasio panjang dan diameter lebih dari 200. Hal tersebut berkaitan dengan fleksibilitas serat agar dapat dipintal menjadi benang. Namun, untuk dapat digunakan sebagai bahan pakaian, minimal memiliki rasio panjang dan diameter sebesar 1000. Panjang serat merupakan salah satu faktor penting, karena kehalusan dan kekuatan berhubungan erat dengan panjang serat. Makin panjang serat, pada umumnya semakin halus dan kuat. Serat yang umum digunakan di industri tekstil mempunyai diameter antara 10 mm hingga 30 mm.

b. Penampang Lintang

Serat alam memiliki penampang lintang yang bervariasi, seperti penampang lintang serat kapas berbentuk seperti ginjal hingga pipih. Sedangkan serat sintetis dengan jenis yang sama memiliki bentuk penampang lintang yang hampir sama.

Serat dengan penampang lintang pipih mempunyai daya kilap tinggi, namun pegangannya kasar. Penampang lintang bulat memberikan pegangan yang halus. Makin luas permukaan serap, makin tinggi daya serapnya.

c. Kekuatan

Kekuatan merupakan sifat serat yang sangat penting agar tahan terhadap tarikan dan gesekan selama proses pemintalan dan pertenunan. Kekuatan serat dinyatakan dalam gram per denier (g/D). Denier adalah berat dalam gram dari serat sepanjang 9000 m. Kekuatan serat dalam keadaan kering harus lebih besar dari 1,2 g/D, sedangkan dalam keadaan basah harus lebih besar dari 0,7 g/D. Kekuatan serat dinyatakan sebagai berikut (Wibowo Moerdoko, dkk., 1973):

1)

d. Daya Serap

Serat dapat menyerap uap air hingga batas tertentu. Jumlah uap air yang terserap bervariasi sesuai dengan kondisi kelembaban relatif dan suhu udara.

Serat yang dapat menyerap uap air lebih banyak akan lebih enak dipakai. Selain itu, dapat mencegah timbulnya listrik statik dalam pengerjaan. Kadar uap air dalam serat dinyatakan dalam moisture regain (%) atau moisture content (%) yang didefinisikan sebagai berikut (P. Soeprijono, dkk., 1974):

2)

3)

dengan B adalah berat asal dan K adalah berat kering mutlak.

Serat yang sedikit menyerap uap air mempunyai sifat-sifat yang relatif sama baik dalam keadaan basah maupun kering. Serat ini memiliki stabilitas dimensi yang lebih baik.

e. Mulur dan Elastisitas

Elastisitas adalah kemampuan serat untuk kembali ke panjang semula setelah mengalami tarikan. Serat tekstil harus memiliki elastisitas yang baik dan mulur saat putus maksimal 10%. Kain yang dibuat dari serat ini memiliki stabilitas dimensi yang baik dan tahan kusut. Mulur suatu serat dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

4)

Sedang elastisitas ditentukan dengan rumus :

5)

dengan Lf adalah panjang akhir serat setelah ditarik (m), Li adalah panjang awal serat (m), dan Lm adalah panjang maksimum serat saat putus (m).

f. Kehalusan

Pada umumnya serat yang halus menghasilkan benang yang kuat, pegangan yang enak, dan daya isolasi panas yang baik. Hal ini karena serat halus memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga banyak menahan udara dalam kain dan memperbesar gesekan antar serat. Kelemahan serat halus adalah kurang tahan terhadap gesekan dan piiling.

Metode Penelitian

Langkah penelitian dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.




Gambar 2. Diagram alir penelitian

Penelitian diawali dengan menentukan bahan dan alat. Sebagai bahan adalah daun agave americana. Daun yang diperoleh disisir dengan menggunakan dekortikator sehingga menghasilkan serat.

Serat yang telah dikeringkan diukur dimensinya (panjang dan diameter) dengan menggunakan micrometer, kemudian diuji kekuatan serat dengan menggunakan pendulum tester. Pengujian kekuatan serat memakai pendulum tester kecil dengan kapasitas maksimum 500 gram. Proses pengujian kekuatan dilakukan sekaligus dengan pengujian mulur dan elastisitas menggunakan cara berkas pita.

Hasil dan Pembahasan

Berat serat = 4 mg

Panjang serat = 600 mm

Tabel 1. Hasil pengujian serat Agave americana

Pengujian

Kekuatan (g)

Mulur (%)

Tenacity (g/D)

1

110

1.3

1.833

2

120

3.36

2

3

100

2.24

2

4

120

2.299

2

5

140

2.319

2.333

6

100

1.879

1.667

7

140

1.86

2.333

8

110

2.6

1.833

9

100

1.24

1.667

10

110

3.319

1.833

Rata-rata

115

2.242

1.917

Pengujian kekuatan tarik dan mulur dilakukan setiap satu helai serat Agave americana dengan 10 sampel. Hasil pengujian menunjukkan serat Agave americana mempunyai rata-rata tenacity sebesar 1.917 g/Denier, memenuhi ketentuan serat untuk dapat dipintal sebesar 1.2 g/Denier. Berarti serat Agave americana telah memenuhi persyaratan tersebut. Mulur saat putus menunjukkan nilai 2,242%. Persyaratan serat untuk dapat dipintal adalah mempunyai mulur saat putus maksimum 10%. Artinya serat Agave americana memenuhi ketentuan tersebut karena mempunyai mulur yang relatif rendah.

Kesimpulan

Berdasar hasil eksperimen pembuatan dan pengujian serat Agave americana dapat diambil kesimpulan bahwa serat tersebut layak digunakan sebagai serat tekstil karena tenacity dan mulurnya memenuhi persyaratan serat untuk dapat dipintal yaitu sebesar 1.917 g/Denier dan 2.242%.