Senin, 18 Agustus 2008

PENGHILANGAN ZAT WARNA NAFTOL DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL DENGAN AMPAS TEBU

Pendahuluan

Indonesia adalah negara sedang berkembang, yang sedang melaksanakan pembangunan industri. Meningkatnya jumlah industri tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga memberikan dampak negatif, misalnya pencemaran lingkungan hidup dari buangan industri, yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Untuk mencegah menurunnya kualitas lingkungan diperlukan usaha pencegahan melalui pengolahan limbah tersebut.

Perkembangan industri tekstil di Indonesia telah maju dengan pesat, dampak negatif dari pembangunan industri tekstil tersebut terutama dari proses pencelupan adalah pencemaran lingkungan apabila air limbahnya dibuang ke selokan atau sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Air selokan menjadi berwarna dan mengubah kualitas air selokan atau air sungai sehingga tidak sesuai peruntukannya.

Industri kecil dan menengah merupakan salahsatu sektor industri strategis dalam menggerakkan perekonomian nasional. Sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja dan menyediakan lapangan usaha baru, sehingga dapat menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Persaingan di dunia industri menuntut pelakunya untuk terus meningkatkan kemampuan mereka agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Salah satu produk andalan yang menjadi ciri khas suatu daerah adalah batik. Kota-kota yang menjadikan batik sebagai komoditas andalan antara lain Pekalongan, Surakarta, dan Yogyakarta. Ribuan jiwa tergantung pada jalannya produksi batik. Industri-industri batik di masing-masing kota tersebut telah tumbuh dan berkembang sejak puluhan tahun silam. Keberadaan mereka terbentuk secara turun-temurun, baik di kalangan pemilik maupun pekerja.

Seiring dengan perkembangan industri secara global, industri batik dituntut untuk terus berbenah dan meningkatkan standard kerjanya. Namun demikian, tidak sedikit industri batik khususnya industri kecil dan menengah mampu melakukan dan menerapkannya. Masalah lingkungan yang berhubungan dengan kegiatan industri tekstil sebagian besar diakibatkan penggunaan zat warna yang bersifat organik. Sebagian senyawa-senyawa organic tersebut sulit untuk diuraikan, serta bersifat karsinogen. Perubahan warna oleh air limbah masih menjadi masalah yang besar bagi lingkungan karena zat warna tersebut sulit untuk diuraikan secara alami oleh badan air penerima. Zat warna dalam air buangan tekstil mengundang reaksi keras masyarakat karena akan mengganggu estetika dan bukan hanya karena bahaya racun terhadap badan air penerima.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa banyak industri kecil kerajinan batik belum menerapkan standar pengolahan limbah baik di dalam lingkungan industri maupun lingkungan sekitarnya. Hal ini terlihat dari keadaan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Secara visual, kondisi lingkungan khususnya air sungai di sekitar sentra-sentra industri batik di Pekalongan misalnya, berwarna hitam pekat disertai bau yang menyengat. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena selain merusak ekosistem sungai juga dapat mempengaruhi kondisi kesehatan warga yang bermukim di sepanjang aliran sungai.

Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas disebabkan oleh karakteristik fisik maupun karakteristik kimianya yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Limbah cair terutama dihasilkan dari proses penyempurnaan tekstil. Limbah cair akan mengandung bahan-bahan yang dilepas dari serat, sisa bahan kimia yang ditambahkan pada proses penyempurnaan tersebut, serta serat yang terlepas dengan cara kimia atau mekanik selama proses produksi berlangsung.

Pewarna merupakan komponen dalam air limbah yang paling mudah dikenali keberadaannya karena kenampakannya. Sebagian besar industri seperti tekstil, kertas, karet, dan sablon menggunakan zat warna dalam prosesnya. Kelarutan zat warna sintetis yang sangat baik menjadikannya komponen yang banyak dijumpai di limbah cair industri. Pembuangan limbah pewarna ke aliran sungai mengakibatkan banyak masalah karena meracuni kehidupan dalam air dan merusak ekosistem lingkungan. Namun air limbah yang mengandung pewarna tersebut sangat sulit diolah karena ukuran struktur dan molekulnya menjadikannya tahan terhadap aerobic digestion, stabil terhadap sinar, panas, dan oksidator.

Metode pengolahan air limbah secara konvensional, yang mengacu pada biodegradasi aerobic, mempunyai efisiensi yang rendah terhadap zat warna reaktif dan zat warna anionic lainnya. Biodegradasi yang rendah tersebut menjadikan pengolahan limbah secara konvensioanal kurang efektif menghilangkan zat warna. Biasanya proses biologi tersebut dilanjutkan dengan proses fisika maupun kimia, sehingga membutuhkan biaya yang tinggi dan kurang efektif untuk mengolah limbah zat warna dalam jumlah yang besar. Di antara berbagai metode penghilangan zat warna, adsorpsi merupakan pilihan yang terbaik karena dapat menghilangkan berbagai jenis zat warna.

Sistem adsorpsi yang didesain dengan tepat akan menghasilkan keluaran berkualitas baik. Sebagian besar proses pengolahan limbah komersial memanfaatkan adsorpsi karbon aktif untuk menghilangkan zat warna dari air limbah karena kemampuan adsorpsinya yang sangat baik. Metode adsorpsi juga menjadi primadona beberapa tahun belakangan karena telah terbukti efisiensinya untuk menghilangkan zat warna dari air limbah. Selain produk luarannya yang berkualitas tinggi, proses ini juga sangat ekonomis.

Tinjauan Pustaka

Penghilangan zat warna asam dari air limbah dengan karbon aktif telah dilakukan oleh Walker dan Weatherley. Karbon aktif, dalam bentuk butiran maupun serbuk, merupakan adsorben yang paling banyak digunakan karena efisiensi adsorpsi terhadap molekul organic sangat tinggi, namun penggunaannya dibatasi oleh harganya yang mahal. Usaha-usaha untuk menemukan adsorben lain telah dilakukan dalam rangka menurunkan biaya pengolahan. Sejumlah bahan yang murah dengan ketersediaan yang berlimpah, seperti biomassa sampah, telah dikaji untuk menghilangkan berbagai jenis pewarna pada kondisi operasi yang berbeda. Namun, karena kapasitas adsorpsi yang tidak begitu besar, dibutuhkan adsorben baru yang lebih ekonomis, mudah diperoleh, dengan efektifitas yang tinggi.

Indonesia menghasilkan sejumlah besar ampas tebu setiap tahun karena banyaknya pabrik gula di Indonesia. Pemanfaatan sisa sampah pertanian untuk mengolah air limbah setidak-tidaknya dapat menekan biaya karena bahan baku dapat diperoleh dengan harga murah, bahkan secara cuma-cuma. Selain itu keberadaan bahan baku tersebut berlimpah. Pemanfaatan sampah, dalam hal ini ampas tebu, sebagai bahan baku karbon aktif juga memberikan solusi masalah pembuangan sampah, terlebih Indonesia merupakan negara agraris.

Saiful Azhar, dkk (2005) telah mengkaji penggunaan ampas tebu untuk menghilangkan zat warna methyl red dari air limbah. Sebelumnya, ampas tebu telah diberi pre-treatment dengan formaldehid dan asam sulfat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi adsorbsi ampas tebu yang diberi pre-treatment dengan asam sulfat lebih tinggi dibanding yang diberi pre-treatment dengan formaldehid. Liew Abdullah, dkk (2005) telah mengkaji penghilangan zat warna azo dari air limbah dengan ampas tebu. Pada penelitian tersebut juga dilakukan pre-treatment dengan formaldehid dan asam sulfat. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah adsorben akan meningkatkan persentase zat warna yang dihilangkan. Ampas tebu yang diberi pre-treatment dengan asam sulfat memberikan efisiensi yang lebih baik. Rachakornkij, dkk (2004) telah mengkaji penggunaan ampas tebu untuk menghilangkan zat warna reaktif dari air limbah. Sebelumnya, ampas tebu telah diberi digiling, dikeringkan, dan diayak.

Berdasar pertimbangan di atas, perlu dikaji penggunaan ampas tebu untuk menghilangkan sisa zat warna naftol di limbah cair industri tekstil. Diharapkan proses ini akan meminimalisir pencemaran lingkungan, baik dari sisi limbah ampas tebu maupun limbah industri tekstil itu sendiri.

1. Zat Warna

Zat warna meliputi semua bahan pewarna yang dapat larut dalam air dan mempunyai daya tarik terhadap serat pada bahan tekstil. Suatu zat dapat berlaku sebagai zat warna apabila :

a. Zat tersebut mempunyai gugus yang dapat menimbulkan warna (kromofor), misalnya azo (-N=N-), nitro (-NO2), nitroso (-NO).

b. Zat tersebut mempunyai gugus yang dapat mempunyai afinitas terhadap serat (auksokrom), misalnya amino (-NH2), hidroksil (-OH-).

Zat warna sintetis yang pertama kali ditemukan adalah mauveine, oleh William Henry Perkin pada tahun 1856. Saat ini terdapat ribuan jenis zat warna sintetis. Keberadaan zat warna sintetis menggeser penggunaan zat warna alam. Zat warna sintetis lebih murah dengan warna yang sangat variatif dan kualitas hasil pencelupan yang sangat baik.

Zat warna azo merupakan zat warna sintetis yang tidak larut dalam air. Proses pencelupan dapat dilakukan dengan bantuan garam diazonium. Mula-mula zat warna diubah menjadi bentuk yang larut dalam air. Setelah pencelupan, serat dimasukkan ke dalam larutan garam diazonium. Teknik ini sangat unik karena warna akhir ditentukan oleh penggunaan garam diazonium.

2. Adsorpsi Karbon Aktif

Adsorpsi karbon aktif merupakan suatu proses untuk menghilangkan kontaminan air limbah yang berupa cairan maupun gas melalui kontak dengan permukaan padatan (adsorben). Bahan adsorben yang digunakan pada aplikasi proses tersebut adalah karbon aktif yang telah diberikan treatment tertentu sehingga luas permukaan meningkat. Proses ini biasa digunakan pada komponen organik, walaupun bisa juga untuk komponen anorganik. Sebagian besar proses menggunakan karbon aktif granular dalam reaktor kolom. Penggunaan bahan mentah (seperti batubara, kayu, tempurung kelapa) dan teknologi proses yang berbeda akan menghasilkan jenis karbon aktif yang berbeda pula, baik dalam bentuk powder maupun granular. Jenis-jenis tersebut mempunyai karakteristik adsorpsi yang bermacam-macam, sehingga pemilihannya disesuaikan dengan kondisi limbah yang akan diolah. Karbon aktif terdiri dari dua macam, yaitu powder dengan diameter kurang dari 200 mesh dan granular dengan diameter lebih dari 0.1 mm. Pengolahan air limbah pada umumnya menggunakan karbon aktif berbentuk granular. Bentuk powder jarang digunakan karena ukuran partikel yang kecil sering menimbulkan masalah pada proses perancangan dan regenerasi. Karbon aktif yang berbentuk granular umumnya digunakan untuk menghilangkan komponen organik beracun dari air tanah, limbah cair industri, dan limbah pada fase uap. Karbon aktif berbentuk powder biasanya digunakan pada proses pengolahan limbah secara biologi.

Adsorpsi karbon aktif sangat ditentukan oleh kondisi proses seperti suhu dan pH serta faktor rancangan proses seperti waktu kontak dan jumlah kolom karbon. Jika proses ini dilakukan dalam kondisi yang tepat, karbon aktif merupakan teknologi pengolahan limbah industri yang efektif. Kapasitas adsorpsi karbon ditentukan oleh karakteristik komponen yang teradsorb, komposisi kontaminan, dan karakteristik karbon itu sendiri. Kompetisi dapat terjadi jika terdapat beberapa komponen dalam air limbah yang sesuai dengan karbon aktif yang digunakan. Kompetisi antar komponen dapat berakibat pada rendahnya daya adsorpsi, bahkan tidak terserapnya komponen tertentu.

Pelarut yang telah dikondisikan dipindahkan pada bed karbon aktif yang telah diinstal pada bejana yang dikenal dengan adsorber. Karbon menyerap pelarut tersebut, yang tersisa adalah aliran limbah yang bersih. Selanjutnya bed karbon dapat diregenerasi.

Karbon aktif efektif untuk menghilangkan bahan organik dalam air limbah melalui proses adsorpsi. Istilah karbon aktif mengacu pada bahan karbon, seperti batubara atau kayu, yang telah mengalami proses dehidrasi, karbonisasi, dan oksidasi untuk memperoleh suatu adsorben dengan luas area dan jumlah pori-pori yang besar. Air limbah mengalir melalui material karbon, sehingga molekul yang terlarut dalam air limbah tersebut akan terperangkap di dalam pori-pori karbon.

Pada umumnya, konstituen organik termasuk bahan aktif pada pestisida dengan struktur kimia tertentu (seperti gugus fungsional aromatik), berat molekul yang besar, dan solubilitas yang rendah dapat terserap ke dalam karbon aktif. Bahan tersebut tertinggal di dalam bahan karbon sehingga konsentrasi pestisida dalam air limbah yang tersisa lebih rendah dibanding konsentrasi awal. Ketika semua pori-pori dalam karbon terisi penuh karbon tersebut telah jenuh dan tidak mampu lagi menyerap kontaminan. Karbon yang telah terpakai dapat diregenerasi untuk digunakan kembali atau dibuang, tergantung pada regulasi dan biaya yang dimiliki.

Regenerasi karbon untuk melepaskan komponen yang terserap dapat dilakukan dengan uap, panas, maupun metode fisika/kimia. Proses regenerasi karbon pada pengolahan air limbah yang paling sering digunakan adalah menggunakan uap dan panas.

Sisa karbon aktif dikelompokkan menjadi dua, yaitu sisa karbon yang beracun dan yang tidak beracun. Faktor pendorong untuk merecycle karbon aktif meliputi faktor finansial dan minimalisasi resiko pembuangan sisa karbon aktif. Regenerasi karbon yang umumnya dilakukan secara thermal akan menghancurkan kontaminan yang berupa komponen organik.

Pemanasan akan mendorong pelarut keluar dari karbon aktif. Uap yang dihasilkan didinginkan sebelum dipisahkan maupun dibuang. Karbon yang telah dipanasi harus dikeringkan dan didinginkan sebelum digunakan kembali untuk proses adsorpsi. Proses ini biasa digunakan pada pemulihan hidrokarbon dan campuran pelarut.

Nitrogen panas digunakan untuk menghilangkan pelarut dari karbon, air yang ikut terserap dihilangkan sebelum pelarut tersebut dikondensasi. Metode tersebut tersedia untuk recovery pelarut yang larut dalam air dengan meminimimalisasi proses pemisahan tambahan.

3. Ampas Tebu

Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas areal ± 232 ribu hektar, yang tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makassar. Pada tahun 2002 produksi tebu Indonesia mencapai ± 2 juta ton. Tebu-tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula (Johanes Anton Witono, 2004). Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu giling. Pada musim giling 2006 lalu, data yang diperoleh dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) menunjukkan bahwa jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik gula di Indonesia mencapai sekitar 30 juta ton, sehingga ampas tebu yang dihasilkan diperkirakan mencapai 9.640.000 ton. Namun, sebanyak 60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan bakar, bahan baku untuk kertas, bahan baku industri kanvas rem, industri jamur dan lain-lain. Oleh karena itu diperkirakan sebanyak 40 % dari ampas tebu tersebut belum dimanfaatkan (Syaiful Anwar, 2008). Di samping terbatas, nilai ekonomi yang diperoleh juga belum tinggi sehingga diperlukan adanya pengembangan proses teknologi agar terjadi diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian.

Dari data statistik, ampas tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula yang ada di pulau Jawa berkisar antara 9,5 juta ton/tahun. Ampas kelebihan (yang belum termanfaatkan oleh Pabrik Gula) 800.000 ton, sebagian terserap oleh industri kertas, industri jamur 500.000 ton, dengan demikian masih terdapat kelebihan ampas tebu 300.000 ton yang terbuang, sehingga nilai ampas tebu sangat rendah (Suwarsono, 2002).

Indonesia menghasilkan sejumlah besar ampas tebu setiap tahun karena banyaknya pabrik gula di Indonesia. Pemanfaatan sisa sampah pertanian untuk mengolah air limbah setidak-tidaknya dapat menekan biaya karena bahan baku dapat diperoleh dengan harga murah, bahkan secara cuma-cuma. Selain itu keberadaan bahan baku tersebut berlimpah. Pemanfaatan sampah, dalam hal ini ampas tebu, sebagai bahan baku karbon aktif juga memberikan solusi masalah pembuangan sampah.

Metode Penelitian

Ampas tebu yang diperoleh dari pabrik gula dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kering kemudian digiling hingga halus. Bubuk ampas tebu diayak sehingga ukurannya -80 hingga +230 mesh. Agar dapat menyerap zat warna, bubuk tersebut dikerjakan dengan larutan formaldehid 1%, dengan perbandingan berat terhadap volume 1:5 pada suhu 500C selama 4 jam. Selanjutnya dibilas dengan air suling untuk menghilangkan formaldehid bebas dan diaktifkan pada suhu 800C di dalam oven selama 24 jam.

Sebagian dari ampas tebu dikerjakan dengan larutan asam sulfat kemudian dipanaskan pada suhu 1500C selama 24 jam. Ampas tebu yang telah dipanaskan dibilas dengan air suling dan direndam dalam larutan natrium bikarbonat 1% selama semalam untuk menghilangkan sisa-sisa asam. Selanjutnya bahan tersebut dikeringkan di dalam oven pada suhu 1500C selama 24 jam, dihaluskan dan diayak sehingga diperoleh ukuran -80 hingga +230 mesh.

Penelitian ini diawali dengan membuat larutan zat warna sebagai simulasi dari limbah tekstil. Zat warna yang digunakan adalah zat warna naftol. Konsentrasi awal larutan divariasikan dari 50 mg/L hingga 250 mg/L dengan interval 50. Obat bantu yang digunakan adalah NaOH 380 Be dan TRO.

Proses adsorpsi dilakukan dilakukan dengan memasukkan 100 mL larutan zat warna pada masing-masing variasi dan 400 mg adsorben ke dalam Erlenmeyer dan diaduk dengan kecepatan 160 rpm. Selanjutnya konsentrasi akhir larutan zat warna diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 617 nm.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian diberikan dalam tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Hasil Penelitian

Konsentrasi Awal Larutan Zat Warna (mg/L)

Persentase Penghilangan ZW (menit)

15

30

45

60

90

120

Ampas Tebu yang di-treatment dengan Asam Sulfat

50

85.6

87.9

88.2

88.7

89.3

91.4

100

85.0

85.7

86.3

87.5

88.6

89.2

150

80.9

82.8

84.6

85.5

86.0

86.4

200

74.1

76.9

79.8

83.3

84.1

84.0

250

66.8

69.8

74.5

77.9

80.8

82.9

Ampas Tebu yang di-treatment dengan Formaldehid

50

73.2

74.9

76.3

78.2

80.3

81.6

100

63.5

64.6

66.4

67.0

68.2

69.6

150

54.5

55.9

57.5

58.8

59.7

60.3

200

42.4

46.1

47.6

50.2

51.7

57.8

250

23.1

27.0

28.7

30.8

35.0

38.0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase adsorpsi zat warna naftol oleh ampas tebu, baik yang di-treatment dengan asam sulfat maupun formaldehid berbanding terbalik dengan konsentrasi awal larutan zat warna naftol sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1. Jadi, semakin tinggi konsentrasi awal larutan zat warna naftol, semakin rendah persentase adsorpsi zat warna. Artinya, konsentrasi zat warna naftol yang tersisa dalam larutan air limbah semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi awal, semakin besar pula beban pemisahan.

Gambar 1. Profil penghilangan zat warna naftol pada waktu kontak 120 menit berdasar konsentrasi awal.

Gambar 2. Profil penghilangan zat warna naftol pada konsentrasi awal 50 mg/L berdasar waktu kontak.

Pada variasi waktu kontak seperti terlihat pada gambar 2 di atas, semakin lama waktu kontak semakin banyak zat warna naftol yang terserap ke dalam ampas tebu. Jadi, persentase adsorpsi zat warna semakin tinggi. Hal ini karena kesempatan terabsorpsinya zat warna naftol dalam larutan dibatasi oleh besarnya kecepatan reaksi. Kondisi ini dimungkinkan berlangsung dalam waktu tertentu hingga mencapai kondisi setimbang.

Dari dua treatment yang dilakukan, ampas tebu dengan asam sulfat memberikan persentase penghilangan zat warna naftol tertinggi yaitu rata-rata 83.15% sedangkan formaldehid hanya memberikan 56.30%. Persentase tertinggi untuk ampas tebu yang di-treatment dengan asam sulfat dan formaldehid masing-masing 91.4% dan 81.6%.

Kesimpulan

Ampas tebu merupakan biomassa limbah yang ketersediaannya berlimpah dengan harga yang sangat murah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase adsorpsi yang tinggi diperoleh dari konsentrasi awal yang rendah dan waktu kontak yang lama. Persentase adsorpsi yang lebih tinggi diperoleh pada ampas tebu yang di-treatment dengan asam sulfat, dibanding dengan formaldehid. Kajian ini menunjukkan bahwa adsorpsi dengan ampas tebu merupakan metode yang menjanjikan untuk menghilangkan zat warna dari limbah cair industri tekstil.

Tidak ada komentar: